Penokohan
Tokoh merupakan unsur yang sangat
penting. Sujiman (1984:16) menyatakan tokoh cerita ialah individu rekaan yang
mengalami peristiwa dan perlakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh cerita
biasanya manusia atau binatang yang
menyimbolkan manusia( Cerita Fabel) atau makhluk lain seperti malaikat,
dewa-dewi, dan sebagainya. Peran tokoh dalam cerita
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang
peranan penting, sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang kemunculannya
mendukung tokoh utama. ( Esten, 1990: 93). Menyatakan ada tiga cara menentukan
tokoh utama yaitu:
- Dilihat dari persoalannya, tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan permasalahan.
- Tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
- Tokoh mana yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan.
Penokohan dalam cerpen Kartu
Pos dari Surga karya Agus Noor,
Singapura-Yogyakarta, 2008
Dari cerpen Kartu Pos dari Surga itu dapat ditemukakan bahwa tokoh-tokohnya antara
lain, Beningnya, Bik Sari, Marwan, Ren, dan Ita. Tokoh utama dalam cerpen ini
ini adalah Marwan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan teori yang ada di atas.
1.
Dilihat
dari persoalannya, tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan
permasalahan
Marwan, datanya sebagai berikut:
1.
Halaman 2 baris ke 4
“MARWAN
hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi.
”Sekarang, setiap pulang, Beningnya
selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. ”Saya ndak
tahu mesti jawab apa…””
- Halaman 2 baris ke 10
“Marwan sendiri selalu berusaha
menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, ”Kok kartu pos Mama belum
datang ya, Pa?”
”Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater
kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa
soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.”
- Halaman 2 baris ke 24
“Marwan tak lagi menggoda bila Ren
sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima
kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya
bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat
rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau
kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan
pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia
pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia
terima.”
- Halaman 3 baris 5
“Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk
dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika
surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.”
- Halaman 3 baris ke 13
“Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh
kenangan, ”Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.””
- Halaman 3 baris ke 23
“Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia
merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu
pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!”
- Halaman 3 baris ke 27
“Ketukan
di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu
menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga
dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding
kamarnya. Pukul 11.20.
”Enggak
bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?””
- Halaman 4 baris ke 12
“Marwan
hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari
kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo,
kartun kesukaannya”
- Halaman 4 baris ke 25
“Andai
ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga
Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah
itu?”
- Halaman 4 baris ke 30
“Marwan
masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya
pulas,
”Bagaimana
kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?””
- Halaman 5 baris ke 4
“Itulah.
Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah.”
- Halaman 5 baris ke 11
“Marwan
tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.”
- Halaman 5 baris ke 12
“Mobil
jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun.
Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah
melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk
kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu
pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi
kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.”
- halaman 5 baris ke 20
“Marwan
menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
”Wah,
udah datang ya kartu posnya?”
Marwan
melihat mata Beningnya berkaca-kaca.”
- Halaman 5 baris ke 26
“Marwan
tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke
kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus
berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya?
Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa
membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.”
- Halaman 6 baris ke 7
“Ketukan
gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia
melihat jam kamarnya.”
- Halaman 6 baris ke 9
“”Ada
apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.”
- Halaman 6 baris ke 11
“Bergegas
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan.”
- Halaman 6 baris ke 19
“”Beningnya!
Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit
ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci.
Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga
terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.”
- Halaman 6 baris ke 27
“Entahlah
berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap
dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan
menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.”
- Halaman 7 baris ke 4
“Marwan
mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan
mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.”
Beningnya, datanya sebagai berikut:
1.
Halaman 1 baris ke 1
“Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya
langsung meloncat menghambur. ”Hati-hati!” teriak sopir.”
2.
Halaman 1 baris ke 3
“Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti
capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu
pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan:
bergambar apakah kartu pos Mama kali ini?”
3.
Halaman 1 baris ke 9
“Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia
melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada.
Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah
mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, ”Biiikkk…, Bibiiikkk….”
Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang
mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.”
4.
Halaman 1 baris ke 18
“”Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?””
5.
Halaman 2 baris ke 12
““Kok kartu pos Mama belum datang
ya, Pa?””
6.
Halaman 4 baris ke 3
“”Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya
bertanya.
”Nganter ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya menggeleng.
”Ke mana?”
”Ke rumah Pak Pos…”
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
”Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang
ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.””
7.
Halaman 4 baris ke 15
“Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu
pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit
jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan
kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan
patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang.
Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos”
8.
Halaman 5 baris ke 13
“Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat
Beningnya meloncat turun.”
9.
Halaman 5 baris ke 26
“”Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk
kartu pos itu. ”Ini bukan tulisan Mama…””
10. Halaman 6 baris ke 1
“…..membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.
Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena
merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya
dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan
mayatnya tak pernah ditemukan.”
11. Halaman 6 baris ke 13
“….mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.”
12. Halaman 7 baris ke 1
“”Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. ”Kata Mama
tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….””
Ren, datanya sebagai berikut:
1.
Halaman 2 baris ke 18
“Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa
sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu
pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, ”Hari gini masih pake kartu
pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS.”
2.
Halaman 2 baris ke 26
“”Kau
memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…””
3.
Halaman 3 baris ke 9
“Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari
Ayahnya yang pelaut. ”Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa
Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam
kartu pos itu…” ujar Ren.”
4.
Halaman 3 baris ke 16
“Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah
keindahan kota-kota pada kartu pos yang mereka pandangi. ”Itulah saat-saat
menyenangkan dan membanggakan punya Ayah pelaut.””
5.
Halaman 3 baris ke 20
“Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan.
”Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku
rasakan…””
6.
Halaman 3 baris ke 24
“pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang
dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!”
7.
Halaman 5 baris ke 30
“…..Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di
rumah……..”
8.
Halaman 6 baris ke 5
“……menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya
tak pernah ditemukan…..”
Bik Sari, datanya sebagai berikut:
1.
Halaman 1 baris ke12
“Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya!”
2.
Halaman 1 baris ke14
“Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat
Beningnya terengah-engah begitu.
”Ada apa, Non?””
3.
Halaman 2 baris ke 6
“…..suara pembantunya terdengar serba salah. ”Saya ndak tahu
mesti jawab apa…””
4.
Halaman 6 baris ke 10
“” Beningnya…””
5.
Halaman 6 baris ke 25
“”Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
”Buka Beningnya! Cepat buka!””
Ita, datanya sebagai berikut:
1.
Halaman 4 baris ke 28
“”Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat
Marwan makan siang bersama."”
2.
Halaman 5 baris ke 3
“”Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.””
3.
Halaman 5 baris ke 5
“Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia
melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang
mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…”
Hasil analisis dari data diatas terdapat data tentang Marwan
sebanyak 21 data, Beningnya 12 data, Ren 6 data, Bik Sari 5 data, dan Ita 3
data. Dari perolehan data diatas maka Marwan adalah tokoh utamanya.
2.
Tokoh
mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
Marwan dengan Beningnya, datanya
sebagai berikut:
1.
Halaman 4 baris pertama
“”Enggak
bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan
menggandeng anaknya masuk.
”Besok
Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.
”Nganter
ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya
menggeleng.
”Ke
mana?”
”Ke
rumah Pak Pos…”
Marwan
merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
”Kalu
emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu
pos dari Mama.”
2.
Halaman 4 baris ke 12
“Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan
setumpuk kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya
dengan memutar DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk
memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan
burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal.
Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan
yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa.
Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu
pos. Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa
begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat
pacarnya.”
3.
Halaman 5 baris ke 13
“Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat
Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh
hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah.
Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira
ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela
ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian
tergesa masuk rumah.”
4.
Halaman 5 baris ke 21
“Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu
pos itu.
”Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
”Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk
kartu pos itu. ”Ini bukan tulisan Mama…””
5.
Halaman 6 baris ke 10
“Bergegas
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
6.
Halaman 6 baris ke 18
”Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar
yang entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa
kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras
dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api
mulai melahap kasur.
7.
Halaman 7 baris ke 4
“Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong
kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain
itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.”
Marwan dengan Bik Sari, datanya
sebagai berikut:
Halaman 6 baris ke 7
“Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua
belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya.
”Ada
apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
”Beningnya…””
Marwan dengan Ren, datanya sebagai
berikut:
1.
Halaman 2 baris ke 17
“Pekerjaan
Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota
yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang
meledek istrinya, ”Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa
telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape.
Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek
sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada
penculikan.
”Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat
kartu pos…”
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti
itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya,
ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya bahagia……”
2.
Halaman 3 baris ke 13
“Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh
kenangan, ”Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.” ”
3.
Halaman 3 baris ke 23
“Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia
merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu
pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari
kemudian!”
4.
Halaman 3 baris ke 27
“Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati
Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren.
Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan
melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.”
5.
Halaman 5 baris ke 27
“Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya
terisak dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa!
Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian
pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di
rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.
Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena
merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya
dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan
mayatnya tak pernah ditemukan”
Marwan dengan Ita, datanya sebagai
berikut:
Halaman 4 baris ke 28
“”Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat
Marwan makan siang bersama.
Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima
pagi, setelah Beningnya pulas,
”Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
”Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti
memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke
sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan
mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita….”
Beningnya dengan Marwan, datanya sebagai
berikut:
1.
Halaman 4 baris pertama
“”Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan menggandeng anaknya masuk.
”Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya
bertanya.
”Nganter ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya menggeleng.
”Ke mana?”
”Ke rumah Pak Pos…”
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
”Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang
ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.”
2.
Halaman 4 baris ke 12
“Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan
setumpuk kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya
dengan memutar DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk
memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan
burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal.
Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan
yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa.
Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu
pos. Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa
begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat
pacarnya.”
3.
Halaman 5 baris ke 13
“Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat
Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh
hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah.
Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira
ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela
ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian
berlarian tergesa masuk rumah.”
4.
Halaman 5 baris ke 21
“Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu
pos itu.
”Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
”Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk
kartu pos itu. ”Ini bukan tulisan Mama…””
5.
Halaman 6 baris ke 10
“Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di
depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan
cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang
cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin
bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu
makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
6.
Halaman 6 baris ke 18
”Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar
yang entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa
kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras
dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api
mulai melahap kasur.
7.
Halaman 7 baris ke 4
“Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong
kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain
itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.”
Beningnya dengan Bik Sari, datanya
sebagai berikut:
1.
Halaman 1 baris ke 9
“Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia
melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada.
Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah
mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, ”Biiikkk…, Bibiiikkk….””
2.
Halaman 1 baris ke 14
Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang
mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.
”Ada apa, Non?”
”Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?”
3.
Halaman 1 baris ke 15
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari
merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat
mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia
terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Dari
hasil analisis di atas tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain
adalah Marwan, karena tokoh Marwan ini berhubungan dengan semua tokoh yaitu
dengan Beningnye, dengan Bik Sari, dengan Ita, dan dengan Ren. Dengan demikian
Marwan dapat ditetakan sebagai tokoh utama.
3.
Tokoh mana yang
paling banyak membutuhkan waktu penceritaan.
Marwan
, datanya sebagai berikut:
- Halaman 2 baris ke 4
“MARWAN
hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi.
”Sekarang, setiap pulang, Beningnya
selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. ”Saya ndak
tahu mesti jawab apa…””
- Halaman 2 baris ke 10
“Marwan sendiri selalu berusaha
menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, ”Kok kartu pos Mama belum
datang ya, Pa?”
”Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater
kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa
soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.”
- Halaman 2 baris ke 24
“Marwan tak lagi menggoda bila Ren
sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima
kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya
bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat
rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau
kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan
pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia
pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia
terima.”
- Halaman 3 baris 5
“Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk
dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika
surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.”
- Halaman 3 baris ke 13
“Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh
kenangan, ”Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.””
- Halaman 3 baris ke 23
“Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia
merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu
pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari
kemudian!”
- Halaman 3 baris ke 27
“Ketukan
di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu
menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga
dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding
kamarnya. Pukul 11.20.
”Enggak
bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?””
- Halaman 4 baris ke 12
“Marwan
hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari
kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo,
kartun kesukaannya”
- Halaman 4 baris ke 25
“Andai
ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga
Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah
itu?”
- Halaman 4 baris ke 30
“Marwan
masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya
pulas,
”Bagaimana
kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?””
- Halaman 5 baris ke 4
“Itulah.
Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah.”
- Halaman 5 baris ke 11
“Marwan
tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.”
- Halaman 5 baris ke 12
“Mobil
jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun.
Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah
melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk
kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu
pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi
kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.”
- halaman 5 baris ke 20
“Marwan
menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
”Wah,
udah datang ya kartu posnya?”
Marwan
melihat mata Beningnya berkaca-kaca.”
- Halaman 5 baris ke 26
“Marwan
tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke
kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus
berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya?
Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa
membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.”
- Halaman 6 baris ke 7
“Ketukan
gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia
melihat jam kamarnya.”
- Halaman 6 baris ke 9
“”Ada
apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.”
- Halaman 6 baris ke 11
“Bergegas
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan.”
- Halaman 6 baris ke 19
“”Beningnya!
Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit
ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci.
Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga
terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.”
- Halaman 6 baris ke 27
“Entahlah
berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap
dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan
menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.”
- Halaman 7 baris ke 4
“Marwan
mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan
mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.”
Beningnya, datanya sebagai berikut:
13. Halaman 1 baris ke 1
“Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya
langsung meloncat menghambur. ”Hati-hati!” teriak sopir.”
14. Halaman 1 baris ke 3
“Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti
capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu
pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan:
bergambar apakah kartu pos Mama kali ini?”
15. Halaman 1 baris ke 9
“Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia
melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada.
Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah
mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, ”Biiikkk…, Bibiiikkk….”
Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang
mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.”
16. Halaman 1 baris ke 18
“”Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?””
17. Halaman 2 baris ke 12
““Kok kartu pos Mama belum datang
ya, Pa?””
18. Halaman 4 baris ke 3
“”Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya
bertanya.
”Nganter ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya menggeleng.
”Ke mana?”
”Ke rumah Pak Pos…”
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
”Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang
ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.””
19. Halaman 4 baris ke 15
“Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu
pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit
jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan
kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan
patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang.
Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos”
20. Halaman 5 baris ke 13
“Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat
Beningnya meloncat turun.”
21. Halaman 5 baris ke 26
“”Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk
kartu pos itu. ”Ini bukan tulisan Mama…””
22. Halaman 6 baris ke 1
“…..membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.
Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena
merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya
dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan
mayatnya tak pernah ditemukan.”
23. Halaman 6 baris ke 13
“….mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.”
24. Halaman 7 baris ke 1
“”Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. ”Kata Mama
tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….””
Ren, datanya sebagai berikut:
9.
Halaman 2 baris ke 18
“Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa
sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu
pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, ”Hari gini masih pake kartu
pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS.”
10.
Halaman 2 baris ke 26
“”Kau
memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…””
11.
Halaman 3 baris ke 9
“Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari
Ayahnya yang pelaut. ”Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa
Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam
kartu pos itu…” ujar Ren.”
12.
Halaman 3 baris ke 16
“Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah
keindahan kota-kota pada kartu pos yang mereka pandangi. ”Itulah saat-saat
menyenangkan dan membanggakan punya Ayah pelaut.””
13.
Halaman 3 baris ke 20
“Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan.
”Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku
rasakan…””
14.
Halaman 3 baris ke 24
“pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang
dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!”
15.
Halaman 5 baris ke 30
“…..Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di
rumah……..”
16.
Halaman 6 baris ke 5
“……menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya
tak pernah ditemukan…..”
Bik Sari, datanya sebagai berikut:
6.
Halaman 1 baris ke12
“Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya!”
7.
Halaman 1 baris ke14
“Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat
Beningnya terengah-engah begitu.
”Ada apa, Non?””
8.
Halaman 2 baris ke 6
“…..suara pembantunya terdengar serba salah. ”Saya ndak tahu
mesti jawab apa…””
9.
Halaman 6 baris ke 10
“” Beningnya…””
10. Halaman 6 baris ke 25
“”Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
”Buka Beningnya! Cepat buka!””
Ita, datanya sebagai berikut:
4.
Halaman 4 baris ke 28
“”Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat
Marwan makan siang bersama."”
5.
Halaman 5 baris ke 3
“”Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.””
6.
Halaman 5 baris ke 5
“Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia
melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang
mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…”
Hasil
analisis dari data diatas terdapat data tentang Marwan sebanyak 21 data,
Beningnya 12 data, Ren 6 data, Bik Sari 5 data, dan Ita 3 data. Dari perolehan
data diatas Marwan membutuhkan waktu penceritaan yang paling panjang sebanyak
21 sehingga Marwan dapat dikatakan sebagai tokoh utama.
Dari
hasil di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh utaama dalam cerpen Kartu
Pos dari Surga ini adaalah Marwan, karena dilihat dari
persoalannya, tokoh yang paling banyak berhubungan dengan permasalahan adalah
Marwan dan tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain adalah Marwan,
serta tokoh mana yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan juga Marwan.
Hal ini dapat disimpulkan dengan jelas bahwa Marwan merupakan tokoh utama dalam
cerpen Kartu Pos dari Surga.
Kartu Pos dari Surga
Mobil
jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur.
”Hati-hati!” teriak sopir.
Tapi
gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman.
Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di
kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos
Mama kali ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya
tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu
terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa
mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera
berlari berteriak, ”Biiikkk…, Bibiiikkk….”
Ia
nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget
melihat Beningnya terengah-engah begitu.
”Ada
apa, Non?”
”Kartu
posnya udah diambil Bibik, ya?”
Tongkat
pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung
kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu
seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia
selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
****
Marwan
hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. ”Sekarang, setiap pulang,
Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah.
”Saya ndak tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada
anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha
menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, ”Kok kartu pos Mama belum
datang ya, Pa?”
”Mungkin
Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”
Lalu
ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan
membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan
Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota
yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang
meledek istrinya, ”Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa
telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape.
Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek
sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada
penculikan.
”Kau
memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan
tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya,
Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat
surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat
pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila
menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya
keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya
sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat
yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren
sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. ”Setiap
kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari
negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar
Ren.
Marwan
ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, ”Aku selalu
mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.”
Ren
kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada
kartu pos yang mereka pandangi. ”Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan
punya Ayah pelaut.”
Ren
merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. ”Mungkin aku memang jadul. Aku
hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak
ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu:
pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari
kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan
di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu
menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga
dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding
kamarnya. Pukul 11.20.
”Enggak
bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan
menggandeng anaknya masuk.
”Besok
Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.
”Nganter
ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya
menggeleng.
”Ke
mana?”
”Ke
rumah Pak Pos…”
Marwan
merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
”Kalu
emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu
pos dari Mama.”
Marwan
hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari
kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo,
kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu
pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit
jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan
kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan
patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang.
Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai dapat
memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin
memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai
ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga
Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah
itu?
”Bilang
saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.
Marwan
masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya
pulas,
”Bagaimana
kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
”Ya
sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah.
Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya
terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga
ia dan Ita….
”Atau
kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren....”
Marwan
tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
Mobil
jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun.
Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah
melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk
kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu
pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi
kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan
menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
”Wah,
udah datang ya kartu posnya?”
Marwan
melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
”Ini
bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. ”Ini bukan
tulisan Mama…”
Marwan
tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke
kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus
berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya?
Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa
membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke
pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan.
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang
harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah
ditemukan.
Ketukan
gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia
melihat jam kamarnya.
”Ada
apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
”Beningnya…”
Bergegas
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
”Beningnya!
Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit
ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci.
Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga
terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.
”Beningnya!
Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
”Buka
Beningnya! Cepat buka!”
Entahlah
berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap
dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan
menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.
”Tadi
Mama datang,” pelan Beningnya bicara. ”Kata Mama tukang posnya emang sakit,
jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….”
Beningnya
mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya
kecoklatan bagai bekas terbakar.
Agus
Noor, Singapura-Yogyakarta, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar